Kondisi Sekarang
Saat ini banyak kita temui reklame, iklan, maupun berita yang dibumbui
dengan penggunaan bahasa asing.Tidak jarang kita menemui reklame yang diwarnai
pencampuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata-kata seperti sirup
rasa orange, apartemen grand kuningan, mal pejaten village,
villa pesanggrahan dan lain-lain, kerap kita temui dalam keseharian
kita. Sepertinya para pembuat iklan ingin iklan yang dibuatnya memiliki poin
lebih dari hanya dimengerti oleh pembacanya. Sepertinya para pembuat iklan
melakukan hal itu agar iklannya memiliki gengsi tersendiri atau dianggap lebih
hebat. Tidak hanya dalam bahasa tulis, dalam bahasa lisanpun gejala ini dengan
mudah dapat kita temui.umumnya yang melakukan hal ini adalah kaum
remaja.penggunaan frase-frase seperti by the way, thanks, see you,
bye dan lain-lain sering kita dapati dalam percakapan remaja..
Yang meresahkan gejala ini tidak hanya terjadi pada kalangan remaja, tetapi
juga para anggota DPR bahkan Presiden. Mereka kerap menggunakan istilah bahasa
Inggris dalam pidatonya.Penggunaan kata commit, integrative, comprehensive
dan lain-lain sering digunakan Presiden dan jajaran kabinetnya. Padahal pada
pasal 28 Undang-Undang Nomor 2009 disebutkan bahwa presiden, wakil
presiden dan pejabat wajib berbahasa Indonesia dalam pidato resmi yang
disampaikan di dalam atau di luar negeri. Ini tentunya sangat mengkhawatirkan,
karena sebagai pemimpin, mereka semestinya dapat memberi contoh yang baik
kepada masyarakat mengenai penggunaan bahasa yang baik dan benar.
Penggunaan bahasa Inggris dalam iklan maupun model bahasa lain merupakan
dampak dari apa yang disebut sebagai imperialisme bahasa. Philipson (1992)
menyatakan bahwa Imperialisme bahasa adalah kondisi yang melibatkan transfer
bahasa yang dominan kepada bahasa lain. Bahasa dominan yang dimaksud disini
adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional dengan
penutur sangat banyak saat ini secara langsung maupun tidak langsung telah
mengintervensi banyak bahasa lain di dunia. Philipson memberi contoh bagaimana
bahasa Inggris telah mempengaruhi perkembangan bahasa di Negara-negara bekas
jajahannya seperti Singapura, India, dan Malaysia.Kini bahasa Inggris tidak
hanya menggurita di negara-negara bekas jajahannya melainkan ke banyak negara
lain seperti Indonesia.
Teknologi seperti radio, TV, dan internet adalah peranti yang sangat efektif
untuk menyebarkan informasi kepada khalayak ramai..Namun seiring tersebarnya
informasi, media telah ikut andil dalam penyebaran bahasa Inggris. Hal ini
terjadi karena banyak media yang menyerap bahasa Inggris dalam
pengoperasiannya. Acara-acara seperti film, talkshow, reality show,
talent show berbahasa Inggris cukup digemari di kalangan masyarakat.
Ini terbukti dari rating mereka yang cukup bagus. Demikian juga acara-acara
yang diproduksi oleh orang Indonesia. Banyak sekali pemandu acara yang
menggunakan campuran bahasa Indonesia dan Inggris dalam tutur kata mereka
misalnya para pemandu acara (Video Jockey) MTV. Yang mengherankan,
pemandu acara tersebut justru dianggap hebat dan gagah oleh pemirsa acara
itu. Bukan sekedar suka, banyak orang, umumnya remaja, yang segera meniru cara
bicara dan gaya mereka.
Berdasarkan contoh-contoh di atas didapati penggunaan
campuran bahasa Indonesia dan Inggris. Fenomena ini sering dibut dengan campur
kode (code mixing). Code mixing menurut
Meyerhoff (2006) adalah kondisi dimana seorang penutur menggunakan lebih dari
satu ragam bahasa di dalam sebuah kalimat atau klausa. Pencampuranseperti ini
sebenarnya tidak perlu dilakukan, karena kata-kata bahasa Inggris dalam iklan
tersebut dapat digantikan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia. Semisal
pada iklan yang berbunyi united and rising
ada padanannya yaitu bersatu dan bangkit, Sedangkan pada kalimat enjoy your life dapat ditulis
sebagai nikmati hidupmu. Semestinya kita harus menggunakan bahasa Indonesia
yang baik dan benar untuk dapat melindungi dan menjaga bahasa Indonesia agar
tidak tergerus zaman dan serbuan bahasa asing terutama bahasa Inggris.
BAHASA ASING DI
INDONESIA
Penggunaan bahasa
Inggris telah menjadi perdebatan panjang sejak masa Sutan Takdir Alisyahbana
pada tahun 60an. Bangsa kita masih terombang-ambing antara mengadopsinya menjadi
bahasa kedua atau menganggapnya seebagai bahasa asing. Karena jelas, antara keduanya akan muncul perlakuan
yang berbeda. Di negara kita, belajar bahasa Inggris diyakini akan dapat
meningkatkan kerja para pegawai. Bangsa kita juga meykini bahwa dengan belajar
bahasa inggris akan membuat
negara kita menjadi negara yang maju di era globalisasi ini. Karena itulah
penguasaan bahasa Inggris kemudian menjadi syarat yang penting agar seseorang
dapat lulus dalam ujian menjadi pegawai. Tapi, yang terjadi di negara kita
adalah ternyata dengan masuk lembaga pendidikan bahasa Inggris yang palling bergengsi sekalipun tidak menjadi
syarat mutlak yang membuat kita mampu mendongkrak kemampuan bahasa Inggris.
Anggapan bangsa kita yang seperti itu sebenarnya adalah anggapan yang keliru.
Kita seharusnya mengambil falsafah orang Jepang yang dalam belajar bahasa kedua
mereka beranggapan ‘get the content, leave lhe language behind’
(dapatkan ide yang ada dalam bahasa tersebut dan tinggalkan bahasa asing
tersebut). Mereka berkeyakinan bahwa tanpa menguasai bahasa Inggris pun, mereka
akan sanggup menjadi bangsa yang besar. Dengan menterjemahkan buku-buku ilmu
pengetahuan ke dalam bahasa sendiri tentu akan lebih membawa manfaat karena
akan lebih mudah dibaca oleh masyarakat kita, daripada harus sibuk membaca
buku-buku barat dengan menyanding kamus besar bahasa Inggris. Di negara kita,
kemampuan penggunaan bahasa Inggris juga belum dimanfaatkan dengan optimal bagi
mereka yang sudah menguasai bahasa kedua ini. Masyarakat atau orang yang
menguasai bahasa tersebut cenderung tidak mampu menggunakan kemampuannya untuk
ikut mengembangkan masyarakat sekitarnya. Jadi, kemampuan itu hanya untuk
kepentingan pribadinya, misalnya saja dalam ekonomi dan politik. Lalu bagaimana
dengan anggapan bahwa menguasai bahasa Inggris mampu membuat bangsa kita maju
sedangkan fakta yang terjadi di lapangan seperti itu? Penguasaan bahasa Inggris
harus dibersamai dengan aplikasinya dalam kehidupan bermasyarakat agar terasa
manfaatnya. Jadi bukan hanya untuk sekadar memenuhi gengsi kita atau ‘keren-kerenan’. Pengajaran Bahasa Asing di
Sekolah Dasar Polemik di negara kita yang berkaitan dengan bahasa asing memang
masih menjadi bahan kajian yang panjang. Misalnya, dengan pengajaran bahasa
Inggris di sekolah dasar. Secara pedagogis, pembelajaran bahasa asing sejak
usia dini mungkin tepat sasaran karena usia kanak-kanak memang menjadi waktu
yang tepat untuk memberikan pendidikan bahasa. Tetapi ketika yang diajarkan adalah bahasa asing, apakah
ini menjadi cara yang tepat sasaran? Karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa
hal ini semakin membuat eksistensi bahasa Indonesia semakin terpinggirkan dalam
fungsinya sebagai bahasa nasional. Anak-anak mengalami gangguan dalam
kemampuannya untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Anak-anak sekarang
lebih suka berbicara dengan bahasa asing yang diyakini membuat mereka lebih
‘keren’ karena tercuci gengsi instalasi moderenitas. Beberapa pendapat tentang pengajaran bahasa
Inggris di sekolah dasar adalah sebagai berikut, seperti dikutip dalam artikel
“Perlukah Pengajaran Bahasa Asing di Sekolah Dasar, 28 agustus 2005”. Tomandar
“Saya setuju saja, asal dalam pelaksanaannya jauh dari kesan mengintimidasi
anak untuk bisa. Begitu seharusnya kemampuan berbahasa tumbuh. Semacam pengenalan
begitu lah…..Mudah-mudahan tidak menjadikan anak ‘miskin’ bahasa Indonesia.
Toh, sehari-hari mereka justru akan lebih banyak bersentuhan dengan bahasa
Indonesia. Bahasa ibunya tetap bahasa Indonesia (atau bahasa daerahnya). Saya
belum melihat dampak negatif apa yang mungkin timbul dari ini”. Hizbullah: “Saya malah kepikiran untuk
selain bahasa asing perlu juga dikenalkan sama si anak bahasa daerah…..asal di
manage dengan baik saya rasa hal tersebut sangat berguna mengingat pengetahuan
akan bahasa itu mencakup budaya sesuatu, katakanlah, bangsa atau adat istiadat
daerah tertentu….Toh, namanya juga sekolah dasar, kalo kita pahami konsep
pendidikan dan pengajaran, ingat bahwa Ki Hajar Dewantara tidak pernah
melepaskan konsep pendidikan dengan pengajaran secara sendiri-sendiri di dalam
wacana pendidikan formalnya, maka sekolah dasar diperuntukkan lebih pada
pemberian dasar-dasar bagi seseorang demi pendidikan lanjutnya”.
Dari Berbagai Sumber :
http://dsofyan.wordpress.com/2012/08/12/pengaruh-penggunaan-bahasa-inggris-terhadap-penggunaan-bahasa-indonesia/